Perkembangan industri film Indonesia yang semakin maju, membuat para sineas Indonesia berlomba memberikan karya-karya terbaiknya. Nah jika Anda ingin tahu film Indonesia apa saja yang terbaik saat ini, berikut 7 film Indonesia terbaik yang pernah dibuat.
1. Tjoet Nja' Dhien (1986)
Sebuah masterpiece! Tak ada yang menyangkal Tjoet Nja' Dhien (1986) dibilang begitu. Film debut penyutradaraan Eros Djarot itu butuh waktu dua tahun buat menyelesaikannya. Pemeran utamanya, Christine Hakim jadi legenda hidup gara-gara film ini. Berkat Tjoet Nja' Dhien, setiap aktris muda pasti menyebutnya sebagai panutan atau bintang idola. Tak ada yang menyangkal pula, sebagai Tjoet Nja' Dhien, Christine berakting sempurna. Tak cuma Christine saja yang serba bagus di film ini. Filmnya sendiri, sebagai sebuah kesatuan karya sinema, nyaris tanpa cacat (diganjar 8 Piala Citra di FFI 1988). Tjoet Nja Dhien tak berisi uraian biografis kehidupan pahlawan dari Tanah Rencong itu. Melainkan juga berisi drama, pengkhianatan, dan kebesaran jiwa. Tak aneh rasanya kalau Tjoet Nja' Dhien merupakan puncak pencapaian dunia perfilman kita yang belum terlewati hingga kini. *
2. Naga Bonar (1986)
Lewat Naga Bonar, Asrul Sani lagi-lagi membuktikan bakat besarnya sebagai salah satu penulis cerita terbaik yang pernah dipunyai negeri ini. Asrul piawai menghadirkan dialog yang memicu tawa, yang begitu dipikir lebih dalam ternyata mengandung makna luhur. Naga Bonar hadir buat berkelakar. Namun, ia tak berkelakar sembarangan. Yang jadi bahan kelakar justru pejuang negeri saat perang kemerdekaan berlangsung. Naga Bonar menyindir pemujaan pada para pahlawan. Film ini berpesan, tak semua pejuang di masa lampau itu punya niat suci membela negeri. Ada yang cuma bisa bicara saja. Nah, Jenderal Naga Bonar (diperankan dengan gemilang oleh Deddy Mizwar) pun aslinya pencopet. Tapi dari sosok inilah kemurnian perjuangan lahir. Sebagai karya sinema, Naga Bonar tampil lengkap, berisi sekaligus menghibur; tergarap dengan baik, tanpa cacat cela. Pantas rasanya bila film ini memborong 7 Piala Citra di FI 1987. *
3. Ada Apa dengan Cinta? (2001)
Ada Apa dengan Cinta? (AAdC?) jadi salah satu film penting negeri ini. Melahirkan tren yang sudah lama hilang dari jagad sinema kita: film bertema remaja. Selepas AAdC? lahir film-film bertema sejenis. Tren itu juga merambah ke teve. Sejak AAdC?, datang berduyun-duyun sinetron bertema remaja. Rasanya, sejak Gita Cinta dari SMA (1979) dulu baru ada lagi film Indonesia yang begitu digandrungi remaja. AAdC? tak kurang ditonton sekitar 2,7 juta orang di bioskop. Kalau dulu Gita Cinta dari SMA melahirkan sosok Galih dan Ratna, AAdC? punya Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian Sastrowardoyo). AAdC? lebih unggul di atas Gita Cinta lantaran kisahnya yang kompleks -- tak cuma kisah kasih Rangga dan Cinta. Ada dilema antara persahabatan dan cinta, hingga niatan buat mencintai karya sastra (siapa yang bisa lupa kalau berkat film ini, buku langka berjudul Aku dicari, lalu dicetak ulang, dan laris manis). Selain itu, di lihat sebagai karya sinema, AAdC? juga lebih manis. Rudi Soedjarwo, sang sutradara, begitu lancar bertutur (Rudi dapat Piala Citra di FFI 2004). *
4. Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985)
Film baik tak lekang dimakan zaman. Bertahun-tahun selewat peredarannya, film itu masih asyik buat ditonton. Nah, Kejarlah Daku Kau Kutangkap tipe film seperti itu. Penonton tak sekadar diajak tergelak. Semua ini berawal dari skenario cerdas yang dibuat Asrul Sani, pengarahan kuat dari Chaerul Umam, sang sutradara, yang digenapi akting prima dari Deddy Mizwar, Lydia Kandou, Ully Artha, dan Ikranegara. Hasilnya, film ini layak ditasbihkan sebagai situasi komedi terbaik yang pernah dihasilkan sineas kita. Asrul berhasil membuat kelakar jenius tentang hubungan pria dan wanita. Kejarlah daku, tapi kau yang akan kutangkap. Itu idiom cinta yang ditambahkan Asrul pada kamus cinta. Dalam film ada hubungan Ramadhan (Deddy) dan Mona (Lydia) yang berkisar antara cinta dan benci, cinta dan gengsi, hingga cinta akhirnya mengalahkan segalanya.
5. Badai Pasti Berlalu (1977)
Badai Pasti Berlalu jadi film Teguh Karya yang paling laris ditonton. Tak kurang, saat beredar dulu, film ini masuk urutan kedua film terlaris 1978 (ditonton 212.551 orang). Padahal buat Teguh sendiri, ia terpaksa membuat film itu. ". ingin nafas, dan balas budi dari film-film terdahulu yang kurang laku. Selain saya ingin memvisualkan sebuah novel ke dalam bahasa visual," ujarnya seperti dimuat Pikiran Rakyat pada 1978. Badai Pasti Berlalu memang diangkat dari novel pop. Hasilnya, ya film pop. Sebelum diangkat jadi film, kisahnya memang sudah populer duluan saat dimuat bersambung oleh Kompas dan kemudian dinovelkan. Hingga saat difilmkan, orang tentu ingin menontonnya. Apalagi yang membuatnya Teguh Karya, sutradara yang piawai membuat film-film bermutu. Selain itu, yang membuat Badai Pasti Berlalu dikenang juga lantaran tata musik berikut lagu temanya yang digubah Eros Djarot. Lagu temanya abadi hingga kini.
6. Arisan! (2003)
Untuk ukuran tahun 2000-an sekarang, Arisan! paling tepat ditunjuk sebagai film yang menelanjangi kehidupan di zamannya. Tanpa tedeng aling-aling, Arisan! menampilkan problematika hidup kaum borjuis Jakarta. Ada perselingkuhan, dilema cinta sesama jenis, hingga upaya mempertahankan nilai-nilai keluarga. Semuanya campur-aduk dalam balutan komedi segar. Kepiawaian sang sutradara, Nia DiNata, menggarap realitas ini mengingatkan kita pada kemampuan senada yang dimiliki sutradara besar lain macam Sjuman Djaya atau Asrul Sani. Nia tak cuma menghibur, ia juga mengajak penonton untuk jujur pada diri sendiri. Pesannya jelas, kehidupan kaum jetset Jakarta dipenuhi topeng alias kemunafikan. Arisan! juga jadi darah segar saat perfilman kita yang bangkit lagi dipenuhi film remaja dan horor. Di luar itu, Arisan! yang jadi film terbaik FFI 2004 ini juga melahirkan bintang baru. Tora Sudiro (pemeran Sakti yang gay) namanya.
7. November 1828 (1978)
Untuk ukuran tahun itu, penghujung 1970-an, November 1828 ditasbihkan sebagai film termahal. Film itu tak kurang menelan dana 240 juta rupiah buat memproduksinya. Dana yang dihabiskan utamanya digunakan untuk membuat seting semirip zaman yang ingin diceritakan dalam film -- awal abad ke-19. Film ini melibatkan beberapa tokoh sejarah buat jadi penasihat, tukang jahit, dan entah siapa lagi buat menghidupkan realitas yang terjadi dua abad lalu. Uniknya, segala tetek bengek artistik itu tak dipakai buat banyak adegan kolosal. November 1828 bukanlah jenis film itu. Ia sebuah drama di tengah medan perang. Filmnya bertutur seputar pengepungan di rumah keluarga Kromoludiro (Maruli Sitompul), pengikut setia Sentot Prawirodirdjo, otak perang Pangeran Diponegoro. Dalam rumah itu berbagai drama yang menguras kemampuan akting setiap pemainnya berlangsung. Ada drama seputar dilema memilih menyerah pada penjajah -- lantaran keselamatan keluarga terancam -- atau berpegang teguh pada prinsip perjuangan mengusir penjajah.
Advertisement